Puncak Kejayaan

Setelah Panembahan Hanyakrawati wafat pada tahun 1613 dan dimakamkan di Makam Hastana Kitha Ageng Kotagede, Kerajaan Mataram dipimpin oleh Raden Mas Djatmika atau lebih dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang (putera Panembahan Hanyakrawati dengan Ratu Mas Adi Dyah Banowati puteri Pangeran Benawa Sultan Pajang).

Sebelum Raden Mas Rangsang naik takhta, Raden Mas Wuryah (putera Panembahan Hanyakrawati dengan Ratu Tulung Ayu) diangkat terlebih dahulu sebagai raja Kerajaan Mataram dengan gelar Adipati Martapura (1613). Hal ini sebagai wujud untuk menghormati janji dari Prabu Hanyakrawati yang pernah berjanji pada Ratu Tulung Ayu (ibu dari Adipati Martapura).

Raden Mas Rangsang diangkat menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman atau Sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung memindahkan ibukota kerajaan dari Kotagede ke Kerto (saat ini bernama Padukuhan Kerto, Kalurahan/Desa Pleret, Kapanewon/Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul) yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kotagede.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya bahkan menjadi terhormat dan disegani oleh kerajaan lain, wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Jawa (kecuali Banten dan Batavia), sebagian Blambangan, serta seluruh Pulau Madura.

Ekspansi yang dilakukan oleh Sultan Agung menggunakan strategi seimbang yaitu dengan mengarahkan politik ekspansi ke arah timur dan arah barat. Sultan Agung melakukan pemusatan ekspansi ke arah Timur untuk menguasai Surabaya dan pemusatan ekspansi ke arah barat untuk merebut dan mengusir Belanda dari Batavia karena saat itu dikuasai Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Ekspansi ke arah timur dilakukan pada tahun 1613-1925 yang berakhir dengan takluknya Madura pada tahun 1624 dan Surabaya pada tahun 1925. Sedangkan ekspansi ke arah barat dilakukan pada tahun 1625-1636, titik puncaknya pada tahun 1628-1629, pada saat dilakukannya pengepungan Batavia hingga 2 kali, kegagalan atas pengepungan pertama pada tahun 1628, membuat Sultan Agung melakukan pengepungan yang kedua pada tahun 1629 sebelum akhirnya Gubernur Jenderal Van Diemen mengajukan politik damai pada tahun 1636.

Selanjutnya. Pada tahun 1636-1641 dilakukan kembali ekspansi ke Jawa Timur yang dipimpin oleh Pangeran Selarong (putera Panembahan Hanyakrawati dengan Ratu Tulung Ayu) untuk menaklukkan Blambangan.

Selanjutnya, pada tahun 1641-1645 dilakukan kembali ekspansi ke Jawa Barat, selain bertujuan juga untuk memadamkan pemberontakan di Sumedang dan Ukur.

Setelah Panembahan Senopati wafat, alih-alih semakin bersatu, beberapa daerah di pesisir berusaha melepaskan diri untuk merdeka, sehingga Sultan Agung berusaha untuk mempersatukan kembali, sekaligus memperluas wilayah Kerajaan Mataram.

Wilayah kekuasaan Sultan Agung saat itu meliputi, wilayah Jawa bagian barat (Priangan), hampir seluruh wilayah di Jawa bagian tengah, wilayah Jawa bagian timur (Madiun, Kediri, Malang, Renong, Lumajang, Wirasaba, Pati, Pajang, Pasuruan, Lasem, Tuban, Gresik, Sukadana, Surabaya, dan Blambangan), serta wilayah Madura (Bangkalan, Arosbaya, Balega, Sampang, dan Pakacangan).

Beberapa peninggalan Sultan Agung yang terkenal, adalah: Penulisan Kitab Sastra Gending yang berisi falsafah hidup Jawa, Tari Bedoyo Ketawang, serta penanggalan Jawa yang menggabungkan perhitungan penanggalan Islam (hijriah) dan Hindu (caka), dimana penanggalan Jawa hingga kini masih digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa.

Pada akhir masa pemerintahannya, Sultan Agung memerintahkan Panembahan Juminah (paman Sultan Agung, putera Panembahan Senopati dengan Raden Ayu Retno Dumilah puteri Sultan Trenggana Raja Kasultanan Demak) untuk membangun Makam di Giriloyo Imogiri.

Namun saat pembangunan makam belum selesai, Panembahan Juminah meninggal dunia dan dimakamkan di makam yang dibangunnya tersebut. Sultan Agung kemudian memerintahkan Kyai Tumenggung Citrokusumo untuk membangun Makam di Pajimatan Imogiri yang dikenal dengan nama Makam Pajimatan Imogiri.

Makam inilah yang digunakan untuk memakamkan Sultan Agung dan raja-raja Mataram beserta keturunannya. Makam Pajimatan Imogiri inilah yang nantinya akan menjadi peninggalan Sultan Agung yang bersejarah.

Untuk mendapatkan informasi selengkapnya, silahkan kunjungi Makam Pajimatan Imogiri dan melakukan pemindaian QR Code pada masing-masing Penanda Keistimewaan yang berada di Makam Pajimatan Imogiri.

slide 3 to 12 of 12