Pasang Surut

Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dimakamkan di Kedhaton Sultanagungan Makam Pajimatan Imogiri. Kerajaan Mataram dipimpin oleh Raden Mas Sayyidin (putera dari Sultan Agung dengan Kanjeng Ratu Batang/Ratu Ayu Wetan/Kanjeng Ratu Kulon, puteri Tumenggung Upasanta Adipati Batang, keturunan Ki Juru Martani).


Raden Mas Sayyidin naik takhta dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Susuhunan Amangkurat I (1645-1677).

Pada awal pemerintahanya, Susuhunan Amangkurat I menjalin hubungan kerjasama dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Selain itu, Susuhunan Amangkurat I memindahkan ibukota kerajaan dari Kerto ke Plered (saat ini bernama Padukuhan Pleret, Kalurahan/Desa Pleret, Kapanewon/Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul) yang berjarak 2 kilometer dari Kerto. Istana baru Kerajaan Mataram di Plered dibangun dengan menggunakan bahan dari batu bata dan dikelilingi dengan tembok-tembok tinggi, berbeda dengan istana sebelumnya di Kerto yang terbuat dari kayu.

Pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I, Kerajaan Mataram mulai mengalami masa kemunduran, hal ini ditandai dengan lepasnya daerah-daerah di luar jawa, serta adanya pemberontakan-pemberontakan yang menyebabkan daerah pesisir utara Jawa dikuasai oleh pihak pemberontak, termasuk terjadinya pemberontakan Trunajaya (1675-1677) hingga saat itu Istana Plered berhasil dikuasai oleh Trunajaya.

Setelah Susuhunan Amangkurat I wafat pada tahun 1677 dan dimakamkan di Tegalarum, daerah dekat Tegal karena wafat di Wanayasa (saat ini Banyumas Utara) dalam perjalanannya mencari bantuan ke Batavia, Kerajaan Mataram dipimpin oleh Raden Mas Rahmat (putera dari Susuhunan Amangkurat I dengan Ratu Kulon, puteri Pangeran Pekik dari Surabaya).

Raden Mas Rahmat naik takhta dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat II atau Susuhunan Amangkurat II (1680-1703).

Susuhunan Amangkurat II merupakan raja Jawa pertama yang memakai pakaian dinas ala Eropa sehingga rakyat memanggilnya dengan sebutan Sunan Amral, ejaan Jawa untuk Admiral.

Pemberontakan Trunajaya di Kerajaan Mataram akhirnya dapat dikalahkan setelah Susuhunan Amangkurat II dan VOC bekerjasama dan mengadakan perjanjian di Jepara pada tahun 1677, yang berisi bahwa daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Mataram di pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur diserahkan penguasaannya kepada VOC sebagai jaminan atas pembayaran biaya perang melawan pemberontakan Trunajaya, perjanjian inilah yang menandai lepasnya daerah Priangan (Jawa Barat).

Susuhunan Amangkurat II memindahkan Ibukota Kerajaan Mataram dari Plered ke hutan yang bernama Wonokerta (saat ini bernama Kartasura) karena saat itu istana Plered telah diduduki oleh putera Sunan Amangkurat I lainnya yang bernama Pangeran Puger, saat istana Plered telah ditinggalkan oleh Trunajaya.

Pangeran Puger menolak untuk bergabung dengan Susuhunan Amangkurat II di Kerajaan Kartasura, bahkan Pangeran Puger sempat menyerang Susuhunan Amangkurat II pada tahun 1680 sebelum akhirnya menyerah kalah pada tahun 1681 kepada Susuhunan Amangkurat II yang bekerjasama dengan VOC.

Pada tahun 1685, Susuhunan Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati. Kemudian, pada tahun 1686 Kapten François Tack yang diutus VOC untuk menangkap Untung Suropati tiba di Kartasura, saat itu Susuhunan Amangkurat II pura-pura membantu VOC.

Pertempuran pun akhirnya tidak dapat dihindari, yang berakhir dengan terbunuhnya Kapten François Tack.


Perang Suksesi Jawa I (1704–1708).

Amangkurat III melawan Pakubuwana I.

Setelah Susuhunan Amangkurat II wafat pada tahun 1703 dan dimakamkan di Kedhaton Sultanagungan Makam Pajimatan Imogiri, saat itu terjadi perebutan takhta Kerajaan Kartasura antara Raden Mas Sutikna (kelak dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat III) dengan Pangeran Puger (adik Susuhunan Amangkurat II).

Kerajaan Kartasura dipimpin oleh Raden Mas Sutikna (putera Susuhunan Amangkurat II dengan permaisuri). Raden Mas Sutikna naik takhta dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau Susuhunan Amangkurat III (1703-1705), dengan ibukota kerajaan tetap berada di Kartasura.

Dalam perebutan takhta, Pangeran Puger dan VOC bekerjasama dan mengadakan perjanjian di Semarang pada tahun 1705, yang berisi bahwa dalam membatu Pangeran Puger merebut takhta Kerajaan Kartasura dari Susuhunan Amangkurat III, wilayah Madura bagian timur diserahkan penguasaannya kepada VOC sebagai imbalan, perjanjian inilah yang menandai lepasnya wilayah Madura bagian timur.

Pada tahun 1704, Pangeran Puger diangkat menjadi raja Kerajaan Kartasura dengan gelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah atau Susuhunan Paku Buwana I (1705-1719), dengan ibukota kerajaan tetap berada di Kartasura.

Pada saat Susuhunan Paku Buwana I diangkat menjadi raja, disaat yang sama Susuhunan Amangkurat III juga masih menjadi Raja Kerajaan Kartasura, saat itu Susuhunan Amangkurat III tengah menyelamatkan diri ke daerah timur setelah dikejar oleh pasukan Susuhunan Paku Buwana I dan VOC sebelum akhirnya menyerah pada tahun 1705 di Surabaya, peristiwa inilah yang menandai takhta Kerajaan Kartasura jatuh ke tangan Susuhunan Paku Buwana I.

Susuhunan Amangkurat III ditangkap oleh VOC dan pindahkan ke Batavia sebelum akhirnya diasingkan ke Ceylon (saat ini Sri Lanka). Susuhunan Amangkurat III wafat pada tahun 1738 dan dimakamkan di Ceylon, kemudian pada tahun 1758 makamnya dipindahkan di Kedhaton Sultanagungan Makam Pajimatan Imogiri.

Pada masa pemerintahannya, Susuhunan Paku Buwana I mulai membangun Kedhaton Pakubuwanan di Makam Pajimatan Imogiri yang nantinya akan digunakan untuk memakamkan Susuhunan Paku Buwana I saat wafat beserta keturunannya.


Perang Suksesi Jawa II (1719–1723).

Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.

Setelah Susuhunan Paku Buwana I wafat pada tahun 1719. Kerajaan Kartasura dipimpin oleh Raden Mas Suryaputra (putera Susuhunan Paku Buwana I dengan Ratu Mas Blitar, keturunan Pangeran Juminah, putera Panembahan Senopati dengan Raden Ayu Retno Dumilah, puteri Sultan Trenggana Raja Kasultanan Demak).

Raden Mas Suryaputra naik takhta dengan gelar Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawi atau Susuhunan Amangkurat IV (1719-1926), dengan ibukota kerajaan tetap berada di Kartasura.

Susuhunan Amangkurat IV memiliki beberapa orang putera yang diantaranya menjadi tokoh-tokoh penting. Putera dengan permaisuri lahir Susuhunan Paku Buwana II (pendiri Keraton Surakarta), putera pertama dari Selir Mas Ayu Tejawati lahir Bendara Raden Mas Sujono atau Sultan Hamengku Buwono I yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi (raja pertama Keraton Yogyakarta), putera dari Selir Mas Ayu Karoh lahir Arya Mangkunegara (ayah dari Raden Mas Said yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa pimpinan pertama Kadipaten Mangkunegara), dan putera dari Puteri Untung Surapati lahir Raden Mas Sandeyo yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Kyai Nur Iman Mlangi (pendiri Dusun Mlangi di Yogyakarta).

Akibat perselisihan dengan kedua saudaranya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, Susuhunan Amangkurat IV mencabut hak dan kekayaan kedua saudaranya tersebut.

Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang dibantu oleh Arya Mangkunegara (putera Susuhunan Amangkurat IV) sempat melakukan pemberontakan sebelum akhirnya dapat dikalahkan oleh Susuhunan Amangkurat IV yang bekerjasama dengan VOC.

Pangeran Blitar meninggalkan Kerajaan Kartasura dan membangun kembali daerah Kerto (Ibukota Kerajaan Mataram masa pemerintahan Sultan Agung).

Setelah Pangeran Blitar meninggal pada tahun 1721, pemberontakan dilanjutkan oleh Pangeran Purbaya, namun akhirnya dapat dikalahkan oleh Susuhunan Amangkurat IV yang bekerjasama dengan VOC, Pangeran Purbaya kemudian diasingkan ke Batavia. Sedangkan Arya Mangkunegara menyerah dan kembali ke istana setelah diampuni oleh Susuhunan Amangkurat IV.

Selain berselisih dengan kedua adiknya, Sunan Amangkurat IV juga menghadapi pemberontakan dari Arya Dipanegara (putera Susuhunan Pakubuwono I dari selir) yang pada masa pemerintah Susuhunan Pakubuwono I mendapatkan tugas untuk memadamkan pemberontakan di Surabaya.

Mendengar Susuhunan Pakubuwono I wafat dan digantikan oleh Susuhunan Amangkurat IV membuat Arya Dipanegara enggan kembali ke Kerajaan Kartasura dan mengangkat dirinya sendiri menjadi Panembahan Herucakra di daerah Madiun.

Susuhunan Amangkurat IV juga sempat berselisih dengan Cakraningrat IV (Bupati Madura Barat), meskipun pada akhirnya hubungan dengan Cakraningrat IV membaik setelah diambil sebagai menantu oleh Susuhunan Amangkurat IV.

Cakraningrat IV sebenarnya cukup berjasa bagi Kerajaan Kartasura karena ikut memerangi pemberontakan yang pernah terjadi, namun demikian Cakraningrat IV memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kerajaan Kartasura.


Perang Suksesi Jawa III (1746-1757).

Susuhunan Paku Buwana II dan Susuhunan Paku Buwana III melawan Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I.

Setelah Susuhunan Amangkurat IV wafat pada tahun 1726 dan dimakamkan di Kedhaton Pakubuwanan Makam Pajimatan Imogiri.

Selanjutnya Kerajaan Kartasura dipimpin oleh Raden Mas Prabasuyasa (putera Susuhunan Amangkurat IV dengan permaisuri keturunan Sunan Kudus). Raden Mas Prabasuyasa naik takhta dengan gelar Susuhunan Paku Buwana II (1726-1749), pada masa awal pemerintahannya ibukota kerajaan tetap berada di Kartasura.

Pada tahun 1728, Susuhunan Paku Buwana II mengasingkan Arya Mangkunegara (kakaknya dari lain ibu) ke Sri Lanka. Saat diasingkan ke Sri Lanka, Arya Mangkunegaran telah memiliki putera yang berusia 2 tahun yang bernama Raden Mas Said (kelak dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa).

Pada tahun 1740, terjadi pemberontakan warga Cina, dikenal dengan nama Geger Pacinan, yang menjadi penyebab runtuhnya Kerajaan Kartasura.

Geger Pacinan dipicu peristiwa pembantaian warga Cina oleh masyarakat Eropa di Batavia atas izin Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.

Warga Cina yang selamat, melarikan diri ke timur dan melancarkan aksi penyerbuan terhadap pos-pos VOC yang mereka temui.

Susuhunan Paku Buwana II saat itu didesak untuk mendukung pemberontakan warga Cina tersebut, akhirnya pada tahun 1741 Susuhunan Paku Buwana II mengirimkan pasukan untuk menyerang VOC di Kartasura sebelum akhirnya melakukan penyerangan terhadap VOC di Semarang.

Disisi lain, Cakraningrat IV (Bupati Madura Barat) yang tetap memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kerajaan Kartasura, menawarkan bantuan kepada VOC untuk melawan pemberontakan warga Cina dengan imbalan Madura Barat menjadi daerah merdeka dari Kerajaan Kartasura, perjanjian inilah yang menandai lepasnya wilayah Madura.

Pada tahun 1471, akhirnya ditandatangani perjanjian damai antara Susuhunan Paku Buwana II dengan Gubernur Jawa Utara Baron van Hohendroff.

Selanjutnya, Patih kerajaan yang bernama Patih Natakusuma yang anti VOC pada tahun 1472 diasingkan oleh Susuhunan Paku Buwana II dan digantikan oleh Patih Pringgalaya, atas kejadian tersebut, para pemberontak yang dipimpin oleh Cakraningrat IV membalasnya dengan melakukan penyerangan besar-besaran sebelum akhirnya berhasil merebut Kerajaan Kartasura dan memaksa Susuhunan Paku Buwana II menyelamatkan diri ke daerah Ponorogo.

Untuk merebut kembali Kerajaan Kartasura, Susuhunan Paku Buwana II dan VOC bekerjasama dan mengadakan perjanjian di Ponorogo pada tahun 1743, yang berisi bahwa VOC akan membantu Susuhunan Paku Buwana II merebut kembali Kerajaan Kartasura dari Cakraningrat IV, dengan syarat yang pertama Susuhunan Paku Buwana II wajib melunasi hutang perang saat VOC membantu Susuhunan Amangkurat II melawan pemberontakan Trunajaya, dan yang kedua raja dilarang mengangkat putera mahkota dan patih kerajaan tanpa mendapatkan persetujuan dari VOC terlebih dahulu, perjanjian inilah yang menandai adanya kewajiban pelunasan hutang perang Susuhunan Amangkurat II dan larangan raja mengangkat putera mahkota dan patih kerajaan tanpa persetujuan dari VOC.

Selanjutnya, karena Kerajaan Kartasura telah hancur akibat penyerangan besar-besaran para pemberontak yang dipimpin oleh Cakraningrat IV, pada tahun 1745 Susuhunan Paku Buwana II memindahkan ibukota kerajaan ke Desa Sala (saat ini Surakarta), perpindahan inilah yang menandai perubahan dari Kerajaan Kartasura menjadi Kasunanan Surakarta.

Saat itu Geger Pacinan belum sepenuhnya mereda, masih terdapat sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa (putera Arya Mangkunegara, cucu Susuhunan Amangkurat IV).

Untuk memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa, Susuhunan Paku Buwana II mengadakan sayembara dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Akan tetapi, akibat pengkhianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgalaya yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.

Disisi lain, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia mendesak Susuhunan Paku Buwana II agar menyewakan daerah pesisir utara kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun, peristiwa inilah yang menandai lepasnya pesisir utara Jawa. Akibat dari peristiwa tersebut.

Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa yang dahulu sempat menjadi musuh Pangeran Mangkubumi. Bersama Pangeran Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.

Pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Susuhunan Paku Buwono II semakin menurun. VOC memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul perjanjian yang berisi penyerahan Kasunanan Surakarta seluruhnya kepada VOC, perjanjian inilah yang menandai titik awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta.

Sejak saat itu, hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman), peraturan ini terus berlaku sampai dengan kemerdekaan Indonesia.

Mengetahui adanya perjanjian dengan VOC tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa semakin sengit bertempur.

Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.

Setelah Susuhunan Paku Buwana II wafat pada tahun 1749 dan dimakamkan di Kedhaton Pakubuwanan Makam Pajimatan Imogiri, Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Raden Mas Suryadi (putera Susuhunan Paku Buwono II dengan permaisuri, puteri Pangeran Purbaya Lamongan).

Raden Mas Suryadi naik takhta dengan gelar Susuhunan Paku Buwana III (1749-1788), dengan ibukota kerajaan tetap berada di Surakarta. Susuhunan Paku Buwana III merupakan raja pertama keturunan Mataram yang dilantik oleh VOC. 

Disisi lain, kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi mengakibatkan Gubernur Jawa Utara Baron van Hohendorff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut.

Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Berikutnya, tampuk pimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.

Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya.

Nicholas Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian.

Sadar bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal tersebut sendiri, maka Nicholas Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Nicholas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil, kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari.

Hasil kesepakatan tersebut disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Susuhunan Paku Buwono III. Kesepakatan dari Susuhunan Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754.

Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh Susuhunan Paku Buwono III, Pangeran Mangkubumi, dan VOC di Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti, perjanjian inilah yang menandai terbaginya Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Beberapa waktu kemudian, Pangeran Sambernyawa menandatangani perjanjian di Salatiga pada tahun 1757, yang berisi mengenai pernyataan kesetiaan terhadap Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan VOC.

Pangeran Sambernyawa mendapatkan daerah kekuasaan sebidang tanah di wilayah Surakarta pemberian dari Susuhunan Paku Buwono III yang diberi nama Mangkunegaran, perjanjian inilah yang menandai terbaginya Mataram menjadi tiga wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.

Untuk mendapatkan informasi selengkapnya, silahkan kunjungi Makam Pajimatan Imogiri dan melakukan pemindaian QR Code pada masing-masing Penanda Keistimewaan yang berada di Makam Pajimatan Imogiri.

slide 3 to 12 of 12