Tata Cara Berpakaian Laki-Laki (Jaler)

Lokasi Makam Imogiri yang berada di atas bukit membuat jalan menuju makam memiliki ratusan anak tangga. Anak-anak tangga ini dibuat pendek, untuk memudahkan para peziarah yang mengenakan pakaian adat. Aturan untuk mengenakan pakaian adat tersebut masih berlaku sampai saat ini untuk area-area tertentu. Busana yang harus dikenakan pengunjung laki-laki untuk masuk ke area-area tertentu di kompleks Makam Imogiri adalah busana pranakan.


Pengertian Pranakan

Busana pranakan ditetapkan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855). Busana yang dibuat untuk para kerabat dan Abdi Dalem ini konon terinspirasi dari baju kurung yang dikenakan para santri puteri di Banten pada pertengahan abad-19 saat Sri Sultan Hamengku Buwono V berkunjung ke daerah tersebut. Pranakan memiliki potongan bagian depan yang berhenti di ulu hati serta belahan di bagian lengan yang mempermudah singsing saat akan wudhu. Terdapat 6 kancing di leher depan yang dikaitkan dengan keenam rukun iman dan 5 kancing di setiap ujung lengan yang dikaitkan dengan kelima rukun Islam. Secara bahasa, pranakan memiliki pengertian “rahim” atau “kandungan”. Penggunaan baju pranakan menyiratkan makna bahwa Abdi Dalem telah dipersaudarakan dalam keluarga besar Keraton Yogyakarta. Makna pranakan juga terlihat dari cara pemakaiannya yang sama dengan penggunaan kaos pada masa kini, membuat penggunanya tampak seperti bayi hendak keluar dari kandungan ibu. Baju dimasukkan terlebih dahulu ke bagian atas kepala atau dislobokke, persis seperti posisi kepala bayi ketika keluar dari rahim. Bahan yang digunakan untuk membuat baju pranakan berupa kain lurik berwarna biru tua dan hitam dengan kombinasi corak garis berjumlah tiga dan empat atau disebut telupat, akronim dari telu-papat. Kata telupat sebagai nama pola lurik dikaitkan dengan ungkapan “kewulu minangka prepat”, artinya para Abdi Dalem itu dipersaudarakan dengan sesama serta didekatkan dan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta. Corak telupat ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Angka tiga dan empat dalam corak telupat jika dijumlahkan menjadi tujuh. Bagi masyarakat Jawa, hitungan dan angka tujuh merupakan angka keberuntungan yang melambangkan kehidupan dan kemakmuran. Angka tujuh atau yang disebut “pitu” bermakna pitulungan, yaitu pertolongan dari Yang Maha Kuasa.


Kelengkapan Busana Pranakan

Ketika mengenakan baju pranakan, ada peraturan mengenai kelengkapan yang wajib dipenuhi. Sebagai penutup kepala, Abdi Dalem jaler mengenakan udheng/dhestar/blangkon dengan gagrak atau model khas Yogyakarta. Salah satu ciri khas udheng Yogyakarta adalah keberadaan mondolan, yaitu bagian belakang sebelah bawah udheng yang menonjol karena menutup gelung rambut. Udheng dikenakan dari depan kepala ke belakang agar mampu menarik rambut dan tidak menyisakannya sehelai pun di bagian dahi atau depan wajah. Kelengkapan selanjutnyanya adalah kain yang digunakan sebagai penutup badan bagian bawah, disebut nyamping, sinjang, bebed, atau jarit. Kain nyamping yang dikenakan bercorak batik gagrak Yogyakarta di luar motif larangan. Kain dibebat pada pinggang dari kanan ke kiri. 

Sebelum dikenakan, nyamping harus diwiron engkol terlebih dahulu, yaitu wiru (lipatan) kain yang membentuk zigzag. Arah wiron engkol ujung paling bawah harus menunjuk ke arah kiri. Selain wiron engkol ada pula wiron pengasih yang berada di bagian dalam. Tambahan wiru ini berfungsi untuk melindungi saat Abdi Dalem jaler berada di posisi jongkok atau duduk. Kelengkapan ageman Abdi Dalem selanjutnya adalah lapisan penutup pinggang yang terdiri dari tiga bagian yang dipakai secara berurutan. Yang pertama adalah setagen, yaitu kain pengikat jarik yang dililit melingkari perut, kemudian lonthong atau kain polos yang mengelilingi dan menutup setagen, dan yang terakhir kamus, sabuk dengan kepala pengait yang disebut timang. Sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855) hingga saat ini penggunaan busana pranakan masih bertahan dengan baik di Keraton Yogyakarta.


Pelestarian tradisi ini bukan hanya sebatas dalam bentuk fisik, namun juga makna yang terkandung dalam pakaian pranakan. Sebagaimana maknanya, rasa aman dan tenteram saat berada dalam pranakan menjadi simbol harapan terciptanya hubungan yang nyaman dan damai antara Sultan dan rakyatnya, sehingga tercipta Manunggaling Kawula lan Gusti. Selain itu juga ada kelengkapan yang bersifat atribut, yaitu berupa keris dan samir. Keris baru dikenakan oleh Abdi Dalem jaler dengan pangkat Bekel ke atas dengan cara diselipkan pada kain pinggang bagian belakang. Samir merupakan kain atau pita penanda yang dikalungkan di leher hingga dada. Pemakaian samir menjadi tanda bahwa Abdi Dalem yang bersangkutan tengah melaksanakan tugas dari Sultan. Jika tidak digunakan, samir senantiasa diselipkan di bagian pinggang sebelah kanan.


Untuk mendapatkan informasi selengkapnya, silahkan kunjungi Makam Pajimatan Imogiri dan melakukan pemindaian QR Code pada masing-masing Penanda Keistimewaan yang berada di Makam Pajimatan Imogiri.

slide 3 to 12 of 12